Malaysia Wave di Dataran Masjid Jamek |
Sesuai rencana sejak beberapa hari lalu, aku mengikuti event Keretapi Sarong, hari ini. Dalam rangka peringatan Hari Malaysia, yang ditetapkan pada 16 September ini, berkain sarung menjadi salah satu cara menunjukkan rasa kebangsaan sebagai rakyat Malaysia.
Otomatis, mayoritas peserta adalah orang Malaysia, dari berbagai etnis. Namun, warga negara lain yang sedang tinggal dan wisatawan, juga tak ketinggalan mengambil bagian dari kegiatan yang telah menjadi tradisi ini.
Otomatis, mayoritas peserta adalah orang Malaysia, dari berbagai etnis. Namun, warga negara lain yang sedang tinggal dan wisatawan, juga tak ketinggalan mengambil bagian dari kegiatan yang telah menjadi tradisi ini.
Kegiatan yang sudah digelar sejak 2009 ini, diorganisir oleh LOCCO, didukung majalah Gaya Travel, Starbucks, dan Kementerian Pelancongan dan Kebudayaan Malaysia.
Aku mengambil starting point dari stesen MRT Bandar Utama, sendirian. Baru kali ini aku merasa seperti anak hilang. Sendiri di tengah orang-orang yang tidak kukenal, hanya atribut sarong yang menggambarkan kesamaan kami semua pada waktu itu. Alih-alih berkenalan dengan peserta lain, aku merekam video dan memotret secara acak. Memang, menyertai event ini, aku tujukan untuk berburu foto, setelah lama kamera Olympus-ku menganggur.
Dari Bandar Utama, kami berkumpul untuk briefing singkat, lalu dengan menaiki MRT, kami berarak menuju Phileo Damansara. Suasana gerbong yang lengang, membuat kami leluasa bergerak dan berinteraksi satu sama lain, sesama peserta. Macam-macam variasi corak sarung dikenakan, dengan berbagai cara melilitkannya pada tubuh. Mulai dari anak-anak, remaja, hingga orang tua, turut memakai kain kebanggaan rumpun melayu ini.
Bak supporter pertandingan sepakbola, peserta riuh menyambut teriakan salah seorang panitia yang memberi aba-aba untuk bernyanyi. Sepanjang Bandar Utama - Phileo Damansara - Pasar Seni, aku merekam koor lagu Balik Kampung, Kau Ilhamku, Sepatu Gelang, hingga Rasa Sayange, yang amat akrab bagiku, sebagai orang Indonesia.
Meski telah ikut sepakat, bahwa lagu itu merupakan milik Nusantara, yang tak perlu saling klaim milik siapa, tak mampu aku berbohong, bahwasanya rasa asam menjalari mulutku. Aku pun menggigit bibir saja, ketika koor peserta lain semakin kencang. Seolah suara mereka cuma tertuju ke telingaku saja. Demi mengusir kaku, aku ikut juga bertepuk tangan, sementara kamera kubiarkan merekam audio.
Bak supporter pertandingan sepakbola, peserta riuh menyambut teriakan salah seorang panitia yang memberi aba-aba untuk bernyanyi. Sepanjang Bandar Utama - Phileo Damansara - Pasar Seni, aku merekam koor lagu Balik Kampung, Kau Ilhamku, Sepatu Gelang, hingga Rasa Sayange, yang amat akrab bagiku, sebagai orang Indonesia.
Meski telah ikut sepakat, bahwa lagu itu merupakan milik Nusantara, yang tak perlu saling klaim milik siapa, tak mampu aku berbohong, bahwasanya rasa asam menjalari mulutku. Aku pun menggigit bibir saja, ketika koor peserta lain semakin kencang. Seolah suara mereka cuma tertuju ke telingaku saja. Demi mengusir kaku, aku ikut juga bertepuk tangan, sementara kamera kubiarkan merekam audio.
Dari Pasar Seni, rombongan bergerak ke Masjid Jamek, dengan LRT jurusan Gombak. Sejurus keluar dari gerbong LRT, kulihat blangkon berekor menyembul di antara kerumunan. Edan, dia tak main-main, betul-betul berblangkon, dengan sarung melilit pinggangnya, sedang dikerubuti dua orang bule dan beberapa peserta yang asik mengambil fotonya secara candid.
Aku melambaikan tangan, ia mengabaikan para penggemar, lantas kami berpelukan. Benar-benar berasa bertemu saudara. Aku membuang kesemutan akibat diam terlalu lama, ngakak melihat tampilannya. Dialah Desi, satu-satunya temanku yang ikut berpartisipasi dalam event ini.
Aku melambaikan tangan, ia mengabaikan para penggemar, lantas kami berpelukan. Benar-benar berasa bertemu saudara. Aku membuang kesemutan akibat diam terlalu lama, ngakak melihat tampilannya. Dialah Desi, satu-satunya temanku yang ikut berpartisipasi dalam event ini.
Di Masjid Jamek, lokasi yang ditentukan sebagai pit stop, kami berhimpun dengan peserta lain dari starting point Ampang, Puchong, Gombak, dan Subang.
Seluruh peserta duduk teratur memenuhi tangga di luar bangunan Masjid Jamek, yang baru saja selesai direnovasi.
Kemudian, dengan bendera Malaysia di tangan, mereka berpaduan suara menyanyikan lagu Jalur Gemilang.
Sebelum keluar dari stesen LRT, aku sempat kebat-kebit, karena koin tiket yang kupegang, hanya valid sampai Bandar Utama. Dengan jurus sluman slumun slamet, aku pun berhasil menerobos portal.
Seluruh peserta duduk teratur memenuhi tangga di luar bangunan Masjid Jamek, yang baru saja selesai direnovasi.
Kemudian, dengan bendera Malaysia di tangan, mereka berpaduan suara menyanyikan lagu Jalur Gemilang.
Sebelum keluar dari stesen LRT, aku sempat kebat-kebit, karena koin tiket yang kupegang, hanya valid sampai Bandar Utama. Dengan jurus sluman slumun slamet, aku pun berhasil menerobos portal.
Setelah sesi foto-foto dan rekaman video di sana, kami diarahkan menuju KL Sentral, dengan LRT. Kemudian, berjalan kaki menuju lokasi akhir perjalanan Keretapi Sarong, di Muzium Negara, Kuala Lumpur, tak jauh dari stesen MRT Muzium Negara.
Berbagai acara telah dipersiapkan panitia, seperti pentas seni, jamuan makan, dan tentunya aksi foto bersama. Tapi aku harus segera pulang, sebab ada tugas lain yang mesti dikerjakan.
Menurutku, acara ini memang sangat efektif, untuk memperkenalkan transportasi publik kepada masyarakat dan wisatawan. Dengan marathon berkereta api seperti ini, masyarakat digalakkan menggunakan kartu untuk mengakses berbagai jenis moda transportasi publik, tanpa repot mengantri tiket di setiap stesen tempat memulai perjalanan.
Akibat dari mengikuti acara ini, aku pun membeli kartu Touch n Go lagi, seharga RM 15, setelah beberapa hari lalu, kartu yang lama kugunakan untuk membobol pintu kamar yang terkunci.
Akibat dari mengikuti acara ini, aku pun membeli kartu Touch n Go lagi, seharga RM 15, setelah beberapa hari lalu, kartu yang lama kugunakan untuk membobol pintu kamar yang terkunci.
Rasa Sayange, Ketika Cuma Bisa Tepuk Tangan
Reviewed by Tyas Maulita
on
September 16, 2017
Rating:
No comments: