Nyaring suara
gambang, kenong, gong dan kendang ditabuh menggema di ruang udara desa Cengkehan
sejak matahari mulai condong ke barat. Diatas panggung setinggi setengah meter
tempat para penabuh duduk itu juga sinden mengalunkan tembang-tembang lengger. Asap
dari perapian kecil di depan panggung mengepul dan meliuk-liuk seakan ikut
menari sebelum bergabung dan membaur dengan partikel udara yang lain. Kang
Ribut, pemimpin sanggar tari Retno Budoyo tampak mondar-mandir mengatur panabuh
gamelan dan para penari yang akan tampil.
Dipo yang
berasal dari desa Kemejing di sebelah
selatan bergerak ke lapangan desa Cengkehan ketika jam menunjukkan pukul
sembilan malam. Baru seminggu ia tiba dari Kuala Lumpur, setelah tiga tahun
tidak menginjak tanah desanya. Hingga tidak sedikit warga yang tidak mengenalinya,
pemuda yang dulu kurus, rambutnya acak-acakan dan berkulit gelap itu sudah
menjadi gagah sekarang. Dipo merapatkan jaket cheetahnya demi mengusir hawa
dingin yang menyusupi kulitnya. Sampai di lokasi pentas lengger ia mencari spot
terbaik untuk merekam gambar. DSLRnya dikeluarkan dari dalam ransel dan
dikalungkan di leher.
Pentas malam ini
cukup istimewa, nampak beberapa kameraman yang memakai tag nama media lokal
berseliweran mencari gambar terbaiknya. Sepertinya beberapa spot sudah
dibooking oleh mereka. Anak-anak kecil tampak mengitari camcorder yang berdiri
di salahsatu sudut lapangan.
“Kacang godog Mas, wedang jahe, gorengan.. “, seorang
pedagang dengan ramahnya menawari Dipo. Di gerobak miliknya geblek baru diangkat dari wajan.
Diserok, ditiriskan lalu dijejer bersama tempe kemul dan bakwan yang
kelihatannya juga masih panas.
Sembari menunggu
pentas dimulai Dipo mengambil sebuah bangku plastik dan langsung mencomot tempe
kemul dan segelas teh panas. Dipo mengenal penjualnya, Seno anak penjual soto
sapi di alun-alun yang tak lain kawan sedesa.
“Laris No?”,
tanya Dipo sambil mencopot kacamatanya. Seno yang sebelumnya sedang konsen
memotong daun kucai mendongak.
“Lho Kang Dipo?
Kamu rupanya? Ah kampret. Kupikir wartawan tadi, Kapan pulang? Awak tak
pusing-pusing?”, sembur Seno begitu mengenali Dipo. Dipo terkekeh.
“Bisa saja kamu
No.. Aku baru seminggu di Kemejing. Rencana minggu depan sudah kembali ke
sana.”
Jawab Dipo
sambil mengunyah tempe kemulnya yang kedua. Rasa tempe yang gurih berbalut
tepung yang dibumbui bawang putih, kunyit, kencur dan ketumbar itu memanjakan
lidahnya.
“Hehehe.. pasti
kau betah di sana kan? Cewek-cewek Malaysia ayu-ayu ya?”, seloroh Seno sambil
memasukkan potongan daun kucai ke sebuah baskom plastik.
“Iya, tapi masih
ayu lengger sini..” jawab Dipo tertawa. Segera ia meneguk habis tehnya yang
sudah dingin ketika terlihat olehnya orang-orang mulai menyemut di tengah
pentas, tanah lapang yang dingin dan lembab.
“Lengger mana
yang main No? Janti?”, Dipo mengulurkan selembar limaribuan pada Seno sembari
beranjak.
“Bukan, lengger
sini. Kemejing asli.. Eh kembalianmu
Kang..!”, Seno mengaduk-aduk laci di gerobaknya.
“Rasah No, aku
pamit dulu..” Dipo melompat, nyaris bangku plastik yang didudukinya ikut
melompat. Seno hanya geleng kepala. Anak tukang njaring yang dulu kurus kering itu sekarang seperti artis Dude
Harlino. Cukup gizi agaknya ia di negeri orang.
“Sri.. aku tak
ikut kang Dipo ke Malaysia ya..”, bisik Seno yang dibalas pelototan tajam
isterinya yang tengah berbadan dua. Seno kembali memandang penggorengan.
Tersenyum simpul.
***
Pentas malam
satu suro itu sudah dipadati warga setidaknya tiga desa. Kemejing, Cengkehan
dan Tempel. Atraksi emblek memang jadi tarikan tersendiri bagi para warga.
Apalagi dengan comeback seorang
penari yang dikenal garang ketika menari dan beringas ketika sedang mendem.
Namanya Wahidin alias Dobleh, empat tahun belakangan pria beristri dua itu
tinggal di Jambi dan baru pulang beberapa minggu yang lalu. Mungkin ini mengapa
beberapa harian dan tabloid lokal banyak yang meliput. Tambahan pula pentas
satu suro sangat istimewa karena menampilkan beberapa lakon tarian dalam
semalam suntuk. Emblek, kuda lumping khas Wonosobo, Lengger, Barongan dan Sontoloyo.
Pentas dibuka
dengan tarian emblek, serentak enam penari dengan kuda-kudaan dan seorang
penari yang berperan sebagai lurah muncul dari kerumunan penonton dan langsung
membentuk formasi ketika sinden menembangkan Sluku-Sluku Bathok. Para penonton
bertepuk tangan dengan riuhnya. Dipo cukup takjub dengan keenam penari yang
masih remaja. Dengan EOS 6D di tangan Dipo menggeser posisinya sedikit ke
depan.
“Monggo mas
wartawan..” ujar seorang bapak sembari memberi isyarat anaknya untuk menepi dan
memberi tempat Dipo di barisan depan. Dipo tersenyum, disangka wartawan hatinya
hanya mengamini mengingat dirinya sedang kuliah jurusan jurnalistik di negeri
jiran.
Dengan mudah
Dipo merekam video ketika Ki Lurah yang diperankan Dobleh memimpin prajurit
berkuda menari dengan hentakan kaki yang bertenaga. Gemerincing klinthingan di
kaki mereka seirama dengan dentum bonang dan gong dari tribun penabuh gamelan.
Ketika satu persatu penari mendem,
Dipo mundur sedikit. Penari bernama Haris terguling tepat di hadapannya.
Badannya mengejang kemudian merangkak menghampiri pawang. Mereka terlihat
berdialog dengan bahasanya sendiri. Sang pawang lalu menyodorkan segayung air.
Haris minum layaknya seekor harimau kehausan yang meneguk air telaga. Lalu Ki
Lurah Dobleh juga terguling kemudian menghampiri perapian dengan merangkak.
Satu kakinya dijulurkan ke belakang, wajahnya condong ke perapian seakan hendak
memakan bara api yang menyala itu. Beberapa pawang Kang Ribut
mulai berusaha menyadarkan penari yang mendem, dengan segelas air bunga yang
dipercikkan ke wajah dan dada mereka, dengan cambukan atau bisikan mantera ke
telinga mereka. Satu persatu para penari bangkit sembari terhuyung-huyung.
Dengan separuh kesadaran mereka kembali ke ruang ganti melewati kerumunan
penonton. Malah si Efendi harus dipapah karena benar- benar pening kepala
setelah menyeruduk tiang lampu ketika sedang mendem.
“Wah seru ya?..”
komentar seorang pemuda di sebelah Dipo dengan logat Jakarta. Agaknya bukan
orang Kemejing atau Cengkehan.
“Nah ini yang
kutunggu-tunggu..”, sahut pemuda di sebelah si Jakarta tadi.
Seorang penari
perempuan muncul ke tengah lapangan diiringi tembang Sulasih Sulandana.
Gemerlap mahkota di atas kepalanya, kemben dan kain jaritnya turut berkilau
memantulkan cahaya. Sampur kuning
menjadi pelengkapnya memerankan puteri raja.
Dipo terpana.
Nyaris lupa menghidupkan kameranya kembali. Bibirnya melongo.. Angin semilir di
sekitarnya seakan berhenti bertiup. Orang-orang yang berkerumun di belakangnya
seakan pohon-pohon pinus di belantara lembah gunung Sindoro. Seakan hanya ia seorang di sana. Mengintip
bidadari menari dari balik babatuan.
Sulasih Sulandono
Sulasih Sulandono
Menyan putih pangundang dewa
Dewane saking sukma
Widadari temuruna
Dewi Sekartaji, puteri
Kediri menjelma sempurna dalam tubuh penari lengger di hadapannya. Lentik
jemarinya ketika melemparkan sampur menggambarkan kelembutan seorang puteri.
Tatap matanya ketika beradu dengan ratusan pasang mata penonton terlihat sengguh. Gemerincing gelang kaki yang
mengiringi lankahnya, kemerlip cahaya yang memantul dari kemben dan mahkota di
kepalanya turut menambah pesona ayunya. Meski dengan riasan begitu manglingi, Dipo masih mengenali lesung
pipi sang penari ketika melempar senyum. Ia bukan sekedar penari. Bukan sekedar
gadis Kemejing. Lalu lirik matanya menggiring Dipo ke dalam memori lama.
Ketika keduanya
masih menyandang tas sekolah, berbaju putih abu-abu, berjalan kaki pulang
sekolah menyusuri rel kereta api peninggalan Belanda. Mencabut rumput kering di
pinggir jalan lalu saling menggelitik telinga, bercanda tawa hingga ke pinggir
desa. Dipo ke kanan dan Endah ke kiri. Lalu hari yang sama berulang esok. Dan
hal yang sama seolah jadi ritual.
Ketika keduanya
berbagi semangkok mi ongklok di bawah gerimis. Di halte bis pinggir desa
Kemejing, pak Sardi si penjual mi ongklok ideran tak henti menggoda mereka.
Endah tersenyum. Dipo pura-pura tidak melihat rona merah di pipi temannya.
Lalu Dipo berharap
ia menari di sana. Ia berharap menjadi Panji Asmoro Bangun yang mampu
menaklukkan hati Sekartaji. Dengan
kegagahan, ketampanan dan kasaktian dalam diri seorang ksatria.
Dipo tersadar
dari lamunan saat tubuhnya terdorong ke depan.
“Ah.. sudahlah..
“,gumam Dipo pada dirinya sendiri. Kemudian tersadar akan kamera di tangannya. Ditekannya
shutter sembari mengangkatnya sejajar dengan wajahnya.
“Kamu akan
selalu di sini Nduk..”.
Senyum mereka
bertemu ketika Dipo menurunkan kameranya.
***
"Cerpen ini diikutsertakan dalam Lomba Menulis Cerpen #HariJadiWonosobo189"
Lengger
Reviewed by Tyas Maulita
on
July 19, 2014
Rating:
ijin nyimak ya. salam
ReplyDeleteSelamat ya ..kisah ini layak memenangkan lomba hari jadi wonosobo :)
ReplyDeleteTerimakasih Mas Yusuf, Mbak Ketty Husnia.
ReplyDelete